MAKALAH PERMASALAHAN PENDIDIKAN DI
INDONESIA PADA TINGKAT MAKRO DAN MIKRO
(Makalah ini Disusun untuk
Memenuhi Tugas Mata Kuliah Inovasi Pendidikan)
Dosen
Pengampu : Ibu Sri Hartini
Disusun
Oleh :
1.
ANISA FATMAWATI (A510120203)
2.
ANGGUN PRANOTO (A510120217)
3.
FERI INDRI Y (A510120223)
4.
IKA SURYANINGSIH (A510120230)
5.
NOVITA WULANDARI (A510120239)
PROGRAM
S1 PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar BelakangMasalah
Pendidikan dalam bahasa Inggris adalah
education. Kata bahasa Inggris (education) berasal dari bahasa Latin, yaitu
ducare, yang berarti “menuntun, mengarahkan, atau memimpin”. Dengan menambahkan
e, berarti “keluar”. Maka, berdasarkan asal kata, pendidikan berarti “menuntun,
mengarahkan dan memimpin keluar. Dalam buku Tim Pengembangan Pendidikan
FIP-UPI, melihat pengertian pendidikan dari bahasa Yunani, yaitu Paedagogi,
terdiri dari dua kata “paid” artinya anak dan “agogos” yang artinya membimbing.
Sehingga pedagogi dapat diartikan sebagai “ilmu dan seni
mengajar anak (the art and science of teaching children)”
Indonesia semakin hari kualitasnya makin rendah.
Berdasarkan Survey United Nations Educational, Scientific and Cultural
Organization (UNESCO), terhadap kualitas pendidikan
di Negara-negara berkembang di Asia Pacific, Indonesia menempati peringkat 10
dari 14 negara. Sedangkan untuk kualitas para guru, kulitasnya berada pada
level 14 dari 14 negara berkembang.
Salah satu faktor rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia adalah karena munculnya
berbagai masalah makro dan mikro dalam dunia pendidikan seperti halnya lemahnya para guru dalam menggali potensi
anak. Para pendidik seringkali memaksakan kehendaknya tanpa pernah
memperhatikan kebutuhan, minat dan bakat yang dimiliki siswanya. Kelemahan para
pendidik kita, mereka tidak pernah menggali masalah dan potensi para siswa. Pendidikan seharusnya memperhatikan kebutuhan anak
bukan malah memaksakan sesuatu yang membuat anak kurang nyaman dalam menuntut
ilmu. Proses pendidikan yang baik adalah
dengan memberikan kesempatan pada anak untuk kreatif. Itu harus dilakukan sebab
pada dasarnya gaya berfikir anak tidak bisa diarahkan.
Dari penjabaran diatas penulis ingin menganalisis
permasalahan – permasalahan dalam pendidikan pada tingkat makro dan mikro yang
terjadi dalam sistem pendidikan di Indonesia dengan tujuan penulis ingin
mencoba memberikan solusi dari berbagai macam – macam masalah pendidikan yang
muncul dari tingkat mikro sampai dengan makro.
B.
Rumusan Masalah
1. Apakah
yang dimaksud dengan
permasalahan makro dan mikro dalam pendidikan ?
2. Apa saja masalah – masalah yang muncul pada tingkat makro
beserta solusinya ?
3. Apa saja masalah – masalah yang muncul pada tingkat
tingkat mikro beserta solusinya ?
C.
Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian permasalahan makro dan mikro
dalam pendidikan.
2. Untuk mengetahui masalah – masalah yang muncul pada
tingkat mikro beserta solusi.
3. Untuk mengetahui masalah – masalah yang muncul pada
tingkat makro beserta solusi.
D.
Manfaat
1. Bagi Calon Guru
Menambah wawasan tentang macam-macam
permasalahan pendidikan di Indonesia pada tingkat makro dan mikro, sehingga
sebagai calon guru dapat mengetahui solusi yang tepat dalam mengatasi masalah
yang muncul dalam pendidikan.
2. Bagi Guru
Memahami berbagai permasalahan pendidikan di Indonesia
pada tingkat makro dan mikro, sehingga seorang guru dapat mengatasi masalah khususnya
pada persoalan tingkat mikro.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian masalah makro dan mikro dalam dunia pendidikan
Masalah makro adalah masalah-masalah
pendidikan yang secara global atau universal dirasakan oleh hampir semua
institusi pendidikan dalam proses pembelajarannya. Masalah pada tataran makro berhubungan dengan kondisi masyarakat dan lingkungan yang secara makro mempengaruhi proses
pembelajaran, misalnya perkembangan
media hiburan (seperti play station sampai ke pelosok desa) yang sulit di kendalikan dan mempengaruhi para siswa. Masalah pada tataran makro, agak sulit untuk ditangani oleh guru secara langsung. Hal ini harus ditangani secara bersama-sama dengan pihak terkait baik itu atasan guru (kepala sekolah) maupun pihak dinas pendidikan dan pihak komite sekolah. Masalah-masalah pada kategori ini juga memerlukan bantuan
pihak luar seperti masyarakat / orang tua siswa.
Sedangkan masalah pada tataran mikro
berhubungan dengan masalah - masalah yang dihadapi oleh guru dalam melaksanakan
pembelajaran di dalam kelas. Masalah pada tataran mikro adalah masalah yang
dialami guru secara langsung pada saat melaksanakan proses pembelajaran. Jadi
wujudnya lebih konkrit dan dapat ditemukan dalam rutinitas keseharian
pendidikan/pembelajaran.
B.
Masalah makro beserta solusi yang di tawarkan
Secara makro problem pendidikan belum mampu memberikan
kesempatan belajar yang merata pada struktur hirarki pendidikan (SD, SMP, SMA,
PT). Hal ini juga semakin diperparah oleh terbatasnya kualitas pendidikan yang
ditandai antara lain dengan rendahnya produktivitas belajar siswa. Belum lagi
tidak terjadi sinergitas antara pendidikan sekolah dengan dunia sekitar
khususnya dunia kerja, dan belum sesuainya dengan perkembangan IPTEKS.
Problem Pendidikan Ditinjau Dari Learning Resource
dapat dibagi menjadi 8 di antaranya yaitu :
1.
Pendidik / guru
Pengembangan staf pengajar
agar memilliki kompetensi profesional di bidang ICT yang begitu sangat minim.
Sikap pendidik yang enggan mengikuti perubahan dan rasa takut terhadap
teknologi informasi baru. Selain itu dalam pasal 10 ayat (1) Undang – Undang Nomor 14 Tahun 2005
tentang Guru dan Dosen menyebutkan bahwa kompetensi guru meliputi kompetensi
pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi
profesional diperoleh melalui pendidikan profesi.
Ø
Analisis persoalannya: di lihat
dari hal ini, memang sebagian dari guru di Indonesia sulit mengikuti dengan
cepat perubahan – perubahan yang terjadi pada dewasa ini. Hal ini terkait
dengan pendidikan dan pelatihan yang mereka ikuti ketika masih di godog menjadi
seorang guru / ketika mereka masih dalam masa kuliah. Dalam perkuliahan itu
sendiri, terkadang materi yang di sampaikan dosen masih sangat monoton
sedangkan kelak nantinya seorang guru di tutntut aktif dan tanggap ketika
proses pembelajaran. Dapat mengendalikan situasi dan kondisi yang ada di
lapangan. Selain itu, hal ini juga di
pengaruhi dari faktor individu itu sendiri, yang mana faktor ini merupakan
faktor utama ketidaksanggupan guru menangani problem yang ada di sekitarnya.
Terkesan cenderung malas untuk mencoba hal – hal baru yang mana hal itu
sebenarnya sangat ia butuhkan kelak nantinya, contohnya seperti mempelajari
ICT. Keprofesionalitasan guru di pertaruhkan disini. Ketika melihat hal ini,
sebaiknya perbaikan guru itu di mulai ketika berada pada bangku kuliah. Mencari
pengalaman sebanyak – banyaknya baik secara akademik maupun non akademik. Latih
kekreatifitasan ketika masih ada waktu yang banyak untuk belajar. Selain itu,
perombakan proses perkuliahan pada mata kuliah tertentu yang monoton hendaknya
di laksanakan. Ketika persoalan itu terlanjur terjadi pada gurunya, hendaknya
di beri pelatihan – pelatihan tertentu supaya menambah kreatifitasnya.
Ø
Sebagian guru di Indonesia kompetensi
yang dimiliki belum sesuai dengan pasal 10 ayat (1) Undang – Undang 14 Tahun
2005 tentang Guru dan Dosen yang telah dijelaskan diatas, karena banyak
sebagian guru yang memiliki kepribadian yang buruk. Guru adalah pedoman bagi
murid – muridnya, sehingga guru harus dapat bersikap dan bertindak dengan baik.
Tapi kenyataaannya, sebagian guru ada yang memberikan perlakuan yang kurang
baik terhadap muridnya. Contohnya itu dalam kasus JIS di Jakarta. Selain itu
ada guru yang membuly muridnya sendiri. Dengan keadaan tersebut, guru di
Indonesia belum sepenuhnya memiliki kompetensi kepribadian yang baik karena
banyak tindakan-tindakan guru yang tidak terpuji.
Solusinya : Kepribadian
itu dapat diperbaiki oleh usaha guru itu sendiri. Guru harus banyak mengikuti
seminar motivasi agar guru tersebut memiliki kepribadian yang baik. Kepribadian
masing-masing orang itu berbeda – beda. Bagaimanapun caranya sebagai calon guru
harus bisa mengatur sikapnya dan emosinya agar dapat bersikap yang baik di
depan muridnya. Selain itu guru harus dibekali dengan nilai – nilai keagamaan
agar selalu ingat kepada Allah SWT.
2.
Pemanfaatan ICT yang belum
maksimal.
Ø Analisis persoalan: dalam masa dewasa ini, kita tidak bisa terlepas dari
yang namanya IPTEK. Dimana sekarang ini orang dapat mengakses apapun dari hal
tersebut. Namun, hal ini belum di fungsikan oleh pendidikan yang ada di
Indonesia dengan maksimal. Hal ini terlihat dari belum luasnya pengembangan jaringan informasi baik yang bersifat lokal, regional
maupun global / internasional pada setiap lembaga pendidikan. Dan juga belum meratanya penyebarluasan informasi tentang pengembangan dan pemanfaatan ICT. Sebaiknya
dengan adanya hal ini, kita mulai mensinkronkan pembelajaran menggunakan ICT.
Selain beberapa hal di atas, ada
persoalan makro yang lain, yaitu:
3.
Kendala peningkatan mutu pendidikan.
Kendala peningkatan mutu pendidikan ini disebabkan karena pemberian peranan
yang kurang proporsional terhadap sekolah, kurang memadainya perencanaan,
pelaksanaan, dan ketidaksesuaian pengelolaan system kurikulum, lingkungan kerja
yang tidak kondusif, tidak cukupnya jam pelajaran, kurangnya sumber daya, dan pengadaan
staf, serta tidak merata secara nasional.
Ø
Analisis persoalannya: Kendala
peningkatan mutu pendidikan yang disebabkan karena kurang proporsionalnya
peranan sekolah dapat di carikan solusi dengan membuat peraturan – peraturan
yang di buat oleh dinas, dimana sekolah itu juga memiliki partisipasi dalam
memberikan suaranya untuk peningkatan mutu pendidikan itu sendiri. Karena
sinergi dari semua pihak diharapkan mampu menimbulkan kolaborasi yang
diharapkan mampu memperbaiki mutu yang ada di pendidikan. Walaupun demikian,
dinas ataupun pusatlah yang memiliki wewenang memutuskan kebijakan yang akan di
ambil.
Kurang memadainya
perencanaan dan pelaksanaan terkait dengan Pengadaan buku-buku pelajaran pokok
untuk murid serta buku pedoman guru sekolah dasar dan sekolah-sekolah lanjutan,
buku-buku pelajaran kejuruan dan tehnik untuk sekolah-sekolah yang
memerlukannya dan buku-buku perpustakaan dalam berbagai bidang study pada pendidikan
tinggi.
Ketidaksesuaian
pengelolaan system kurikulum, dari hal ini kita dapat melihat apakah pendidikan
ini hanya bertindak sebagai penuntut saja atau pendidikan ini dapat berfungsi
untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Ketika kurikulum yang di gunakan sebagai
dasar dalam pelaksanaan pembelajaran belum bisa menjiwai sebagai bentuk dari
pendidikan itu sendiri, maka ketercapaian dari tujuan pendidikan tidak dapat
tercapai secara maksimal. Kurikulum ini, hendaknya mencakup semua aspek baik
kognitif, afektif, psikomotorik dan spiritual. Dalam hal ini pengembangan kurikulum
termasuk cara penyajian pelajaran dan system study pada umumnya juga lebih di
detailkan lagi.
Selain hal- hal
tersebut, pengadaan alat-alat peragadan alat-alat pendidikan lainnya pada
sekolah dasar (SD), TK, dan SLB, laboratorium IPA dan SMP & SMA, fasilitas dan
perlengkapan latihan dan praktik pada sekolah-sekolah kejuruan dan tehnik serta
laboratorium untuk berbagai bidang ilmu pendidikan untuk Perguruan Tinggi.
Ketidakmerataan
secara nasional itu kalau menurut analisi kami, tidak harus selalu di salahkan
kepada pemerintah, karena terkadang medan tempat dari institusi pendidikan itu
sendiri masih sangat jauh dari pembangunan daerah. Namun walaupun demikian,
pemerataan ini harus lebih di gancarkan lagi salah satu solusi yang di tawarkan
yaitu dengan inovasi pendidikan yaitu seperti Indonesia Mengajar yang mana guru
– guru yang biasanya enggan di tempatkan di daerah 3T( terpencil, terluar,
terbelakang) kini mau di pindahkan dengan pengadaan seperti hal ini
Perlukiranya dilakukan
kegiatan – kegiatan untuk peningkatan mutu guru antara lain, dengan presensi kedisiplinan
guru; pertemuan guru / rapat guru untuk memperbaiki situasi belajar mengajar di
sekolah; penataran guru untuk meningkatkan kemampuan profesionalisme guru;
mengikuti kursus pendidikan untuk menambah wawasan dan pengetahuan guru;
mengadakan loka karya untuk meningkatkan mutu hidup pada umumnya serta mutu dalam
hal pekerjaan.
4.
ketidakmerataan pendidikan di Indonesia
Berdasarkan Pasal –pasal Undang-Undang Sisdiknas berikut dikutip dari buku
Kebijakan Pendidikan Islam Dari Ordonisasi Guru Sampai UU Sisdiknas karena
terkait dengan tugas pokok dan fungsi Pemerintah Daerah.
Bab VIII
WAJIB BELAJAR
1.
Setiap warga negara yang berusia
6 tahun dapat mengikuti program wajib belajar.
2.
Pemerintahan dan pemerintah
daerah menjamin keselenggaranya wajib belajar minimum pada jenjang pendidikan
dasar tanpa memunggut biaya.
3.
Wajib belajar merupakan tanggung
jawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan pemerintah,pemerintah
daerah dab masyarakat.
Analisis
persoalan :
Banyak kita
ketahui dan kita lihat di Indonesia masih banyak anak-anak yang seharusnya
mendapatkan pendidikan yang layak,tapi sekarang ini masih banyak yang tidak
mendapatkan pendidikan yang layak,akibatnya banyak anak-anak yang usia masuk sekolah
atau d bawah umur banyak yang menjadi pengamen.pengemis,gelandangan dan kadang
menjadi pemulung untuk memenuhi kenutuhan sehari-hari yang seharusnya tidak
mereka lakukan sesuai usianya.
Solusi :
Seharusnya
pemerintah lebih memperhatikan pendidikan Indonesia,dan pemerintah konsekuen
terhadap peraturan yang dimuat dalam undang-undang yang berisi bahwa anak usia 6 tahun wajib mendapatkan pendidikan di
indonesia dan pemerintah seharusnya mengadakan program sekolah gratis dan
sekolah tersebut tersebar di seluruh Indonesia agar semua anak-anak bangsa
dapat merasakan pendidikan yang layak karena anak-anak tersebut akan menjadi
penerus bangsa Indonesia.
C.
Masalah mikro beserta solusi
Masalah – masalah Mikro dalam Pendidikan sebegai berikut :
1. Sulit memahami pelajaran
yang diceramahkan.
Ø
Analisis persoalan: Dalam
memahami pelajaran, setiap anak punya daya tangkap yang berbeda – beda. Dari
daya tangkap yang berbeda inilah kita dapat melihat bahwa cara yang kita
gunakan dalam membelajarkan materi harus menggunakan metode yang efektif dan
efisien. Ketika kia hanya menggunakan metode ceramah saja, hal iin akan menjadi
sesuatu yang monoton, yang tidak asik dan menarik. Memori siswa mudah cepat
lupa ketika mereka hanya mendengar saja, namun ketika pembelajaran itu di lakukan
dengan cara aplikasi / praktek maka selain menjadi menarik, hal ini akan lebih
bisa bertahan lama dalam memori siswa.
2. Sulit untuk memahami konsep yang rumit
Ø Analisis persoalannya: dalam memahami konsep materi pembelajaran, tentu ada
yang mudah, sedang dan sulit. Cara mengatasi hal ini, adalah dengan membuat konsepm
ini menjadi suatu game yang mana itu merupakan pokok – pokok atau konsep yang
akan di belajarkan pada siswa.
3. Terbatasnya waktu untuk belajar.
Ø Analisis persoalan: seringkali dalam satu waktu proses pembelajaran, waktu
yang di butuhkan itu masih sangat kurang sedangkan materi yang di ajarkan masih
belum terselesaikan semua. Hal ini menunjukkan bahwa memang masih ada masalah
antara waktu yang di gunakan dengan materi yang di ajarkan. Ketika hal ini
terjadi, sebaiknya guru memberikan tambahan jam pelajaran untuk siswa supaya
materi pembelajarannya dapat terselesaikan.
4. Korupsi di
tingkat sekolah
Korupsi di tingkat sekolah bukanlah suatu masalah baru bagi kebanyakan sekolah negeri. Hal ini turut andil dalam menyebabkan rendahnya mutu pendidikan dan menimbulkan
semakin mahalnya biaya pendidikan. Korupsi dalam bentuk penyalahgunaan wewenang
untuk kepentingan diri sendiri sekarang ini merupakan praktek yang lazim dilakukan.
Oleh sebab itu korupsi bukanlah hal yang mudah untuk diselesaikan.
Ø Analisis persoalannya: Memerlukan pembaharuan kebijakan pendidikan melalui consensus antara birokrat dan komunitas sekolah. Melacak isu soal perpindahan dan mutasi dan mengembangkan pendekatan adalah bagian penting dari sebuah kesepakatan bersama dalam mengambil keputusan. Kelas dan sekolah harus dijadikan cermin oleh birokrasi pendidikan, bagaimana sebenarnya system pendidikan kita dijalankan. Membangun control sosial di
semua level pendidikan yang memungkinkan sekolah terus melakukan perubahan ke arah yang
lebih baik. Dalam pelaksanaan
program belajar mengajar
guru, kepala sekolah,
siswa, dan masyarakat harus tercermin dalam program penguatan kapasitas guru sekaligus kapasitas peran serta masyarakat. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan harus terus berupaya mengevaluasi seluruh
tools yang berkaitan dengan perangkat perundang-undangan yang di anggap lemah dan
perlu diubah, terus berupaya meningkatkan kapasitas manajemen sekolah secara berkesinambungan.
Membuat sebuah
program perencanaan manajemen keuangan sekolah, agar warga sekolah semakin peduli
pada setiap rencana yang akan sekolah tetapkan.
Komite sekolah harus
dapat menciptakan kondisi sekolah yang transparan, akuntabel, dan demokratis dalam
penyelenggaraan dan pelayanan pendidikan yang bermutu. Alasannya sederhana, yaitu komite sekolah juga memiliki fungsi sebagai pemberi pertimbangan (advisory agency), pendukung (supporting
agency), pengontrol (controlling agency), dan mediator. Komite sekolah merupakan kekuatan nyata yang
tak pernah diberdayakan sekaligus diikut sertakan dalam menyusun
RAPBS. (Sumber: Lampung Post 21 Juni 2012).
5.
Interaksi
Satu Arah dan Perlakuan Sama dari Guru : Masalah Utama
Ø
Analisis Persoalan: Masalah
pendidikan di Indonesia tidak selalu berbicara mengenai pemerataan pendidikan,
pembangunan pendidikan, indeks pembangunan manusia atau masalah-masalah lain
yang bersifat makro. Dengan kata lain, masalah pendidikan tidak hanya yang
bersifat makro tetapi juga dalam lingkup kecil di tingkatan mikro. Dalam hal
ini, proses belajar mengajar di kelas merupakan sesuatu yang penting dan sama
pentingnya dengan masalah pemerataan pendidikan. Oleh karena itu, proses
belajar mengajar tidak boleh dilupakan.
Dalam proses
belajar mengajar tentunya harus berbenah pada apa yang terjadi di kelas. Tidak
boleh dipungkiri bahwa terkadang siswa memiliki waktu di kelas lebih banyak
dibandingkan dengan waktu bersama orang tua ataupun dengan teman sebaya. Dengan
demikian, kelas menjadi ruang pembentukan karakter selain tentunya pembentukan
kemampuan kognitif dari anak. Oleh karena itu, kelas beserta proses belajar
mengajar akan menjadi rezeki bagi kemajuan bangsa jika ditangani dengan baik
dan juga akan menjadi malapetaka bagi bangsa jika tida tertangani.
Proses
belajar mengajar di kelas secara garis besar menggunakan dua pendekatan, yaitu
pendekatan tradisional dan non-tradisional. Dalam hal ini, pendekatan
tradisional hanya bersifat komunikasi satu arah. Optimalisasi peran guru
menjadi sesuatu yang disakralkan dalam pendekatan tradisional ini. Sayangnya,
pendekatan tradisional ini justru yang dipraktekan ke dalam pendidikan formal
di Indonesia. Pendekataan tradisional dianggap cocok dengan situasi Indonesia
dimana satu kelas dapat berisi 40 dan 50 siswa. Ditambah lagi. guru masih
jarang terlibat pada penyusunan materi yang diajarkan dan hanya terbatas pada
aspek menyampaikan apa saja yang dijawantahkan dalam kurikulum.
Dalam
situasi pendidikan formal dengan pendekatan tradisional maka interaksi yang
muncul antara guru dan siswa tentunya interaksi formal. Padahal antara siswa
satu sama lain memiliki karakteristik yang berbeda. Ditambah lagi perlakuan
dari guru terhadap semua siswa di kelas ialah bersifat general walaupun
masing-masing dari siswa tentunya memiliki karakteristik yang berbeda-beda.
Dengan situasi pendidikan formal maka yang muncul hanya generalisasi terrhadap
karakteristik siswa seperti gambar dibawah ini :
Dalam proses
belajar formal maka perlakuan terhadap siswa A dengan karakteristiknya, siswa B
dengan karakeristiknya dan siswa C dengan karakterisknya ialah sama. Jika melihat karakteristik antara siswa A, siswa B
dan siswa C ialah berbeda. Bahkan dapat dikatakan bahwa siswa A dan siswa C
memiliki masalah sama yaitu sulit menangkap pelajaran tetapi perilaku mereka
berbeda, untuk siswa A mudah tersinggung dan emosi sementara siswa C ialah
pemalu dan pendiam. Dengan kata lain, memang memiliki masalah yang sama yaitu
sulit menangkap pelajaran tetapi tentunya perlakuan antara mereka tetap harus
berbeda.
Dalam proses
belajar formal, interaksi yang muncul ialah interaksi satu arah dimana guru
memperlakukan siswa secara aktif dan siswa menerima apa adanya dengan pasif.
Dengan begitu, pemberian materi tentunya hanya bersifat pasif dimana guru
menjadi subjek pembelajaran dan murid sebagai objek pembelajaran.
Dengan
adanya perlakuan sama oleh guru terhadap siswa bukan semata-mata kesalahan
guru. Terdapat label dalam pendidikan formal di Indonesia bahwa guru ialah
‘Superman’ yang sakti dan serba tahu. Davies membuat suatu daftar tugas dan
fungsi guru sebagai berikut (Miarso, 2004 : 593) :
Dengan
melihat daftar di atas maka muncul pertanyaan apakah guru dapat melakukan semua
itu. Hanya pendidikan formal di Indonesia yang mempercayai bahwa guru dapat
melakukan seperti pada daftar di atas. Daftar fungsi dan tugas guru yang dibuat
oleh Davies secara tidak langsung disahkan oleh sistem sehingga guru harus
melakukan semua peran seperti daftar di atas.
Singkatnya
ialah bahwa masalah mikro dari pendidikan di Indonesia terkait proses belajar
dan mengajar ialah komunikasi satu arah di kelas dan perlakuan yang sama dari
guru terhadap siswa yang memiliki karakteristik berbeda-beda. Oleh karena itu,
yang mnejadi solusi ialah kebalikannya. Komunikasi satu arah diganti menjadi
komunikasi dua arah lalu perlakuan sama diganti dengan perlakuan berbeda yang
tidak membedakan.
Komunikasi
dua arah dan perlakuan berbeda tetapi tidak membedakan harus digunakan dalam proses
belajar mengajar di kelas. Akan tetapi, untuk mewujudkan kedua hal tersebut
akan membutuhkan upaya-upaya yang tidak mudah. Kedua hal tersebut (komunikasi
dua arah dan perlakuan berbeda tetapi tidak membedakan) akan terwujud jika
mengikuti rekomendasi oleh Hunt antara lain (Dede, 2004 : 152):
1.
Siswa harus dilatih ketrampilan membaca dalam konteks
memahami pesan-pesan tertulis yang terdapat dalam bacaan.
2.
Siswa harus dilatih untuk mau dan mampu berbicara
dengan baik, mereka harus didorong untuk berbicara dan senantiasa memiliki
sesuatu yang sangat penting untuk disampaikan kepada guru, sehingga dia
terlatih menyampaikan pendapat dan pandangannya dengan baik.
3.
Guru harus menyediakan kesempatan bagi siswa untuk
membiasakakan menyampaikan pandangan, pendapat atau berbagai pertanyaaan, baik
dengan menggunakan bahasa tulis maupun lisan sehingga mereka terus terlatih
untuk menyusun bahasa tulisnya sebaik mereka melatih menyusun bahasa lisannya.
4.
Guru juga harus menata ruangan kelas yang mendukung
proses komunikasi kelas dengan baik, sehingga siswa terus terdorong untuk
melakukan komunikasi verbal dengan gurunya
5.
Guru juga harus dengan sabar mendengarkan penyampaian
mereka atau mempelajari bahasa tulis mereka serta memberi feed back untuk perbaikan ke depan
BAB III
PENUTUP
A.
SIMPULAN
Permasalahan pendidikan itu adalah persoalan yang di
hadapi dalam dunia pendidikan. Masalah makro
adalah masalah-masalah pendidikan yang secara global atau universal dirasakan
oleh hampir semua institusi pendidikan dalam proses pembelajarannya. Masalah pada tataran makro berhubungan dengan kondisi masyarakat dan lingkungan yang secara makro mempengaruhi proses
pembelajaran, misalnya perkembangan
media hiburan (seperti play station sampai ke pelosok desa) yang sulit di kendalikan dan mempengaruhi para siswa. Masalah pada tataran makro, agak sulit untuk ditangani oleh guru secara langsung. Hal ini harus ditangani secara bersama-sama dengan pihak terkait baik itu atasan guru (kepala sekolah) maupun pihak dinas pendidikan dan pihak komite sekolah. Masalah-masalah pada kategori ini juga memerlukan bantuan
pihak luar seperti masyarakat / orang tua siswa.
Sedangkan masalah pada tataran mikro
berhubungan dengan masalah - masalah yang dihadapi oleh guru dalam melaksanakan
pembelajaran di dalam kelas. Masalah pada tataran mikro adalah masalah yang
dialami guru secara langsung pada saat melaksanakan proses pembelajaran. Jadi
wujudnya lebih konkrit dan dapat ditemukan dalam rutinitas keseharian
pendidikan/pembelajaran.
Singkatnya ialah bahwa masalah mikro dari
pendidikan di Indonesia terkait proses belajar dan mengajar ialah komunikasi
satu arah di kelas dan perlakuan yang sama dari guru terhadap siswa yang
memiliki karakteristik berbeda-beda. Oleh karena itu, yang mnejadi solusi
ialah kebalikannya. Komunikasi satu arah diganti menjadi komunikasi dua arah
lalu perlakuan sama diganti dengan perlakuan berbeda yang tidak
membedakan.
DAFTAR PUSTAKA
Soebahar,
Halim. 2013. Kebijakan Pendidikan Islam
Dari Ordonansi Guru Sampai UU
Sisdiknas.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Rachmawati,
Tutik & Daryanto. 2013. Penilaian
Kinerja Profesi Guru Dan Angka
Kreditnya. Yogyakarta
: Gava Media.
Irvan.
2013. “Makalah Permasalahan Pendidikan di Indonesia” (online),
Andreas.
2013. “Pengertian Pendidikan” (online),
Dewiastiti. 2013. “Permasalahan Pendidikan di
tingkat Makro dan mikro” (online),
Saifudin,Taufiq. 2011. “Problem-Problem Pendidikan”
(online),